BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam makalah kali ini akan membahas tentang kaidah ketiga
keyakinan tidak hilang dengan kemudahan (al-yaqin la yuzalu bi as-syak).
Manusia sendiri memiliki perasaan senang-sedih, optimis-pesimis, dan yang
berkaitan dengan masalah ini adalah keyakinan dan keraguan. Karenanya, keraguan
yang menganggu pikiran sebagaimana pesan substansial kaidah ini tidak akan
mampu menggoyahkan status hukum yang telah dimiliki oleh keyakinan.
Kaidah ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan
keyakinan tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu
yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan
menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya
telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak
akan hilang hukum kesucianya di sebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena
sebelum keraguan itu timbul, dia telah menyakini keabsahan thaharah yang telah
dilakukan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
saja dasar dan pengertian Al-Yaqinu
La Yuzalu Bi Al-Syakk?
2.
Apa
saja cabang dari qaidah Al-Yaqinu
La Yuzalu Bi Al-Syakk?
3.
Bagaimana
penerapan qaidah Al-Yaqinu
La Yuzalu Bi Al-Syakk dalam muamalah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
dasar dan pengertian Al-Yaqinu
La Yuzalu Bi Al-Syakk
2.
Mengetahui
cabang dari qaidah Al-Yaqinu
La Yuzalu Bi Al-Syakk
3.
Mengetahui
penerapan qaidah Al-Yaqinu
La Yuzalu Bi Al-Syakk dalam muamalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Dan Definisi
1.
Dasar
Qaidah Al-Qur’an pada surah Yunus ayat 36:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا
يُغْنِى مِنَ ٱلْحَقِّ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌۢ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
2.
Dasar Qaidah Hadis
Rasulullah SAW
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا
يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah berkata :
Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu
dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu
(kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar
suara atau mencium bau.”
(HR. Muslim).
3. Pengertian Al-Yaqin
Yakin
(اليقين). Secara etimologi yaitu manatapnya hati
atas sesuatu57 al-Yaqin juga
bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Sebagaimana
menurut Ibnu Manzhur (w. 711) dalam kamusnya Lisan al-Arab, yaitu
pengetahuan dan merupakan antonym dari al-Syakk. Sedangkan menurut
terminologi yaitu Keyakinan yang kokoh dan sesuai dengan kenyataan.
Al-Suyuthi
mengatakan al-Yaqin (اليقين)
adalah sesuatu yang tetap dan pasti, dapat dibuktikan melalui penelitian dan
menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya.
4. Pengertian
Al-Syak
Al-Syak
secara
etimologi artinya adalah keraguan. Juga bisa diartikan dengan sesuatu yang
membingungkan. Sedangkan secara terminologi Muhammad al-Zarqa mengatakan Keraguan
antara dua perkara/masalah yang berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya.
Dengan
qaidah kedua ini, maka seseorang memperbuat sesuatu (beramal) harus
dilakukan berdasarkan dengan keyakinan. Maka apapun keraguan untuk
menghilangkan keyakinan tidak akan diterima. Juga dapat difahami dengan redaksi
yang lain yaitu, setiap perkara yang tetap, tidak akan berubah dengan sebab
kedatangan bukti yang terdapat syak padanya. Keyakinan merupakan suatu perkara yang
bersifat tetap dan bersifat berlawanan terhadap syak.
Lazimnya,
sesuatu yang benar-benar diyakini sudah pasti tidak akan dirubah oleh syak
kerana kedua-duanya adalah sangat berbeda. Sesuatu perkara itu hanya akan
dikatakan sebagai yakin setelah terdapat bukti dan penelitian yang dapat
menetapkan adanya perkara tersebut. Di bidang fiqh misalnya, indikator
yakin ini begitu dititikberatkan terhadap perkara apapun yang dilakukan.
Karena, ia adalah asas Islam yang menjadi dasar pijakan bagi membina sesuatu hukum.
Menurut al-Nawawi bahwa qaidah ini merupakan sebuah qaidah yang
penting dalam qawaid fiqhiyyah. Begitu
pula menurut Syarif Hidayatullah, al-Qarafi menyatakan bahwa para ulama
menyepakati qaidah itu, yaitu qaidah yang menjelaskan bahwa
setiap sesuatu yang diragukan seperti sesuatu yang telah pasti
ketidakpastiannya. Menurut al-Sarakhsi dalam kitabnya Ushul al-Sarakhsi,
berpegang kepada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan dasar dalam
syariat Islam.
B. Cabang
Kaidah
1.
“Menurut
dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang”. Contoh
: Oleh karena itu, seseorang merasa yakin bahwa ia telah berwudhu, tiba-tiba ia
merasa ragu apakah ia sudah batal atau masih bersuci. Dalam hal ini ia
ditetapkan bersuci seperti keadaan semula, karena itu yang telah diyakini.
Bukan keadaan berhadats yang ia ragukan. Begitu pula, Seseorang makan sahur di
akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-jangan waktu fajar telah
terbit, maka puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumkan sah, karena
waktu yang ditetapkan berlaku sebelumnya adalah waktu malam, bukan waktu fajar.
Dalam kasus muamalah misalnya, seseorang pembeli sebuah televisi menggugat kepada
penjualnya, karena televisi yang dibelinya setiba di rumah tidak dapat
dimanfaatkan, maka gugatan pembeli dikalahkan, karena menurut asalnya televisi
yang dijual ditetapkan dalam keadaan baik. Dalam kasus munakahat misalnya,
seorang suami lama meninggalkan isterinya dan tidak diketahui ke mana perginya,
maka isteri tidak dapat kawin dengan laki-laki lain, karena dipandang, bahwa
hukum yang berlaku adalah wanita yang masih terikat tali perkawinan, sebab
ketika suaminya pergi tidak ada menjatuhkan thalaq (atau ta'liq thalaq) kepada
isterinya.
2.
“Menurut
dasar yang asli tiada tanggung jawab”. Misalnya, terdakwa yang
menolak diangkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya
ia bebas dari tangggungan dan yang harus diangkat sumpah adalah pendakwa. Jika
seseorang menghadiahkan sesuatu barang kepada orang lain dengan syarat
memberikan gantinya dan kemudian mereka berdua berselisih tentang wujud
penggantiannya, maka yang dimenangkan adalah perkataan orang yang menerima
hadiah, karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan memberikan gantinya.
3.
“Menurut
dasar yang asli ketiadaan sesuatu”. Misalnya, Seseorang
mengaku telah berutang kepada orang lain berdasarkan atas pengakuannya atau
adanya data otentik, tiba-tiba orang yang berutang mengaku telah membayar
utangnya, sehingga ia telah merasa bebas dari tanggungannya. Sedangkan orang
yang memberi utang mengingkarinya atas pengakuan orang yang berutang. Dalam hal
ini sesuai dengan qaidah, maka yang dimenangkan adalah pernyataan orang
yang memberi utang, karena menurut asalnya belum adanya pembayaran utang,
sedangkan pengakuan orang yang berutang atas bayarnya adalah perkataan yang
meragukan. Jika seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudharabah)
mengatakan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan, maka
perkataannya itu dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan
mudharabah belum ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan adalah hal yang
telah nyata karena belum bertindak, sedangkan memperleh keuntungan yang
diharapkan merupakan hal yang tidak pasti.
4.
“Asal
sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjuk keharamannya”. Misalnya,
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya disebabkan tidak
didapat sifat-sifat atau ciri-ciri yang dapat digolongkan kepada binatang
haram, maka binatang itu halal dimakan.
5.
“Asal
setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadiannya”. Misalnya:
Seseorang berwudhu dengan air yang diambil dari sumur. Beberapa hari kemudian
diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut ada bangkai, sehingga menimbulkan
keragu-raguannya perihal wudhu dan sembahyang yang dikerjakan beberapa hari
lalu. Dalam hal ini ia tidak wajib mngqadha shalat yang sudah dikerjakannya.
Karena masa yang terdekat sejak dari kejadian diketahuinya bangkai itulah yang
dijadikan titik tolak untuk penetapan kenajisan air sumur yang mengakibatkan
tidak sahnya shalat.
6.
“Menurut
dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki”. Misalnya,
Seseorang mewaqafkan harta miliknya kepada anak-anaknya. Maka jika terjadi
gugatan dari cucu-cucunya untuk menuntut bagian, maka gugatan itu tidak
digubris. Karena menurut arti hakikat perkataan anak itu adalah hanya terbatas
kepada anak kandung yang dilahirkan secara langsung oleh orang yang berwaqaf.
C. Penerapan Qaidah Dalam Bidang Muamalah
1. Jika
seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang dibelinya itu
cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang
mengata kan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh mengembalikannya,
karena pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh
ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh
keraguan.
2. Apabila
dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang mensyaratkan
sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan transaksi jual beli itu
dan mengembalikan barang, sementara penjual menyanggah adanya syarat itu, maka
perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai sumpahnya, karena
syarat tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya dalam
akad adalah bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat
tambahan, itulah yang yakin.
3. Apabila
seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang, bahwa ia telah
membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang mengingkarinya, maka
perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang yang mengingkari
pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya orang yang
berhutang, terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia sudah
bayar hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak orang yang punya
piutang itu diyakini.
4. Seseorang
memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah mengizinkannya, pada
hal pemilik makanan tersebut tidak mengizinkannya. Dalam kasus ini yang
dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum pokok makanan orang lain
itu tidak boleh di makan.
5. Seorang
yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal,
sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu dibenarkan.
Karena dari awal adanya ikatan mudharabah memang belum diperoleh laba dan
keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan itu
hal yang belum terjadi (belum ada).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda,
bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan
keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang
lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa
keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum
qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa
keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.
Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan
adanya keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa
apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang
berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau
meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan
maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu
tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.
B.
Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya karya tulis ilmiah ini dan penulisan karya tulis ilmiah di
kesempatan-kesempatan berikutnya.
EmoticonEmoticon