BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Aqidah Islam, sebagaimana tercermin pada aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, adalah aqidah yang
benar dan diridhai oleh Allah untuk hamba- hamba-Nya. Itulah aqidah para Nabi dan Rasul, serta orang-orang yang mengikuti jejak
mereka, yaitu para da’i dan
orang-orang yang melakukan perbaikan sampai
hari Kiamat.
Mendakwahkan
aqidah ini bisa dilakukan dengan
cara menunjukkan rambu rambunya, menyebarluaskan kebaikan-kebaikannya,
mempopulerkan keistimewaan keistimewaannya dan karakteristik-karakteristik para
penganutnya, serta membersihkannya
dari hal-hal yang dilekatkan
kepadanya. Seperti penyimpangan orang orang yang
berlebih-lebihan dan pengakuan
para pendusta, agar jalannya menjadi jelas, dalilnya menjadi nyata, hujjahnya menjadi tegak, dan
simbolnya menjadi terang.
Oleh
karena itu, adalah kewajiban kaum Ahli Sunnah
wal Jama’ah (pengikut generasi Salafush shalih) untuk meneriakkan
kebenaran dan menyebarluaskan aqidah mereka ditengah- tengah makhluk. Supaya
Allah berkenan memberikan petunjuk kepada orang yang telah mendapatkan
kebaikan. Supaya orang yang binasa menerima kebinasaannya secara nyata dan, sebaliknya,
orang yang hidup menjalani kehidupannya secara
nyata.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Keistimewaan ahli sunnah wal jama’ah ?
2. Bagaimana
Kedudukan ahli sunnah wal jama’ah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui
Keistimewaan ahli sunnah wal jama’ah
2. Bisa
membedakan keistimewaan ahli sunnah wal jama’ah dengan yang lain
3. Berusaha
melaksanakannya
D.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM (AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH.
56. Berusaha
Mencari Kesempurnaan Tetapi Tidak Menuntut Sesuatu Yang Mustahil
Ahli Sunnah
wal Jama’ah selalu berusaha mendapatkan sesuatu yang paling sempurna,
mencari yang paling ideal dalam segala hal, berusaha semaksimal mungkin
untuk mendapatkan manfaat dan menyempurnakannya, serta meniadakan kerusakan dan meminimalkannya.
Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal itu adalah bahwa Ahli Sunnah berpendapat
bahwa yang paling berhak menjadi
imam di dalam shalat adalah orang yang paling
mahir membaca Al-Qur’an,
kemudian orang yang berada di
bawahnya, dan seterusnya.
Kemudian
apabila di suatu tempat tidak ada
orang lain selain kumpulan
orang-orang fasiq, maka yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling minim
kefasiqannya, dan seterusnya.
Begitu
juga halnya dengan kemunkaran. Mereka
berusaha keras untuk melenyapkannya secara total
dan memberantasnya hingga ke akar-akarnya.
Dan jika ternyata mereka tidak bisa
memberantasnya secara keseluruhan, maka mereka akan memberantasnya sebatas kemampuan mereka dan berusaha keras untuk mengatasi sisanya. Begitulah seterusnya.
Sedangkan
golongan yang lain, terkadang tuntutan
mereka untuk menggapai kesempurnaan membuat mereka menuntut sesuatu yang mustahil. Seperti ketika kaum Khawarij melepaskan ikatan bai’at
kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu, karena
–menurut mereka- ia telah berhukum kepada manusia dalam masalah kitab
Allah. Mereka
menyatakan
“Kami tidak
mau kecuali orang seperti Umar
bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.” Akan tetapi, dari mana mendapatkan orang seperti Umar? Ini adalah tuntutan yang tidak pada tempatnya.
Padahal Ali adalah figur terbaik pada zamannya.
Akhirnya, mereka meninggalkan Ali dan melepaskan bai’at kepadanya. Andai
saja ketika melakukan hal itu mereka kemudian berbai’at kepada salah
seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam, seperti Ibnu Umar, Sa’id
bin Zaid, atau sahabat-sahabat lainnya yang masih
hidup ketika itu. Sikap ekstrem mereka justru
mengantarkan mereka pada kondisi
meremehkan. Mereka justru mengganti yang baik dengan yang lebih jelek. Mereka
membai’at Syait bin Rab’iy,
mu’adzinnya Sajjah sewaktu mendeklarasikan diri sebagai nabi sepeninggal Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam. Namun akhirnya
Allah memberikan rahmat-Nya, sehingga
ia melarikan diri dari mereka dan
menyadari kesesatan mereka. Akhirnya,
mereka tidak punya pilihan lain selain
Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, seorang
Badui yang suka kencing di atas kedua
tumitnya. Ia bukan generasi awal Islam, bukan sahabat Nabi Shallallahu‘alaihi wa Salam,
bukan Ahli fiqih, dan bukan orang yang dipersaksikan
baik oleh Allah Ta’ala.
57. Tidak Berteman dan Tidak Bermusuhan Kecuali Atas
Dasar Agama
Ahli Sunnah
wal Jama’ah tidak suka
membela kepentingan pribadi atau marah untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak mau berteman karena sentimen
Jahiliyah, fanatisme madzhab, atau bendera golongan. Mereka hanya
berteman atas dasar agama. Sebab
pertemanan (wala’) mereka adalah
karena Allah, dan permusuhan (bara’)
mereka pun karena Allah. Sikap mereka konsisten dan tidak berubah-ubah.
58. Satu
Sama Lain Saling Mencintai dan Saling Menyayangi
Ahli Sunnah
wal Jama’ah saling mengasihi dan saling mencintai. Satu sama lain saling menyayangi, saling melindungi, dan saling
mendoakan.
Hal
itu tidak lain karena aqidah mereka yang baik dan amal mereka yang shalih. Allah Ta’ala telah
memberitahukan bahwa Dia
memberikan rasa kasih sayang bagi orang- orang yang beriman dan beramal shalih.
Allah Ta’ala
juga
memberitahukan bahwa orang-orang
beriman satu sama lain, saling
menyayangi dan saling mendoakan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal
shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan di dalam
diri mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Dan berfirman,
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka, berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian di dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Hasyr:
10)
Umat
Nashrani yang melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka telah
ditimbulkan oleh Allah rasa permusuhan
dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Maka
setiap kali gereja-gereja mereka mengadakan rapat untuk bersepakat atau
mufakat, justru gap (kesenjangan) di antara mereka semakin lebar dan perbedaan semakin luas.
Begitu
juga dengan orang-orang komunis yang atheis. Setiap kali ada pemimpin baru, maka ia akan mengutuk pemimpin sebelumnya,
melecehkan mimpinya, mencaci-makinya dan menjelek-jelekkannya.
Demikian pula halnya keadaan kelompok-
kelompok sesat, mereka tidak bisa bersatu dan bersepakat
59. Satu
Sama Lain Tidak Saling Mengkafirkan
Ahli Sunnah
wal Jama’ah bersih dari tindakan
semacam itu. Mereka membantah
orang yang menentang pendapat mereka
dan menjelaskan hal yang sebenarnya kepada masyarakat. Mereka menyalahkan, tetapi
tidak mengkafirkan, tidak membid’ahkan, dan tidak memfasiqkan kecuali orang
yang berhak menerimanya.
Berbeda dengan golongan-golongan lain,
seperti Khawarij yang di tengah-tengah
mereka banyak terjadi perselisihan, penyesatan, dan pengkafiran. Oleh karena
itu, anda menemukan mereka saling mengkafirkan satu sama lain ketika terjadi konflik di antara mereka mengenai fatwa yang detil dan kecil (furu’).
60. Secara Umum Bersih, Dan Noda-Noda Bid’ah, Syirik, Dan
Dosa Besar
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang paling selamat dari bid’ah dan bersih dari
syirik. Sedangkan maksiat dan dosa
besar, terkadang sebagian Ahli Sunnah terjerumus
ke dalamnya. Dan sebagian mereka juga melakukan kecurangan, kezhaliman, dan kebodohan. Hanya saja, hal-hal semacam itu di
kalangan Ahli Sunnah terbilang kecil dibanding yang lainnya.
Apa
pun bentuk
kezhaliman, kecurangan, kebodohan, dan pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya
di lingkungan Ahli Sunnah wal Jama’ah,
hal itu
lebih kecil dibanding yang ada
di dalam golongan-golongan lainnya. Sementara
ilmu pengetahuan, keadilan, kebaikan, keberanian, ibadah, dan jihad yang dimiliki oleh Ahli Sunnah
lebih baik dan lebih sempurna
dibanding yang dimiliki oleh Ahli bid’ah.
Berbeda dengan golongan-golongan lain,
seperti Rafidlah (Syi’ah). Mereka
berpendapat bahwa memuliakan kuburan dan memasang
kubah di atasnya adalah bagian dari agama. Mereka juga berpendapat bahwa kemunafikan
dan kebohongan yang mereka sebut “taqiyah”
adalah 90% dari agama, dan bahwa orang
yang tidak memiliki “taqiyah” berarti tidak memiliki
agama.
Begitu
juga dengan kaum Nushairiyah (salah satu sekte Syi’ah) yang mengkultuskan khamr
(arak) dan menganggapnya sebagai bagian dari syariat agama mereka.
61. Hati
dan Lidah Mereka Bersih dari Penghinaan Terhadap Sahabat-sahabat Rasulullah SAW
Hati Ahli Sunnah
wal Jama’ah dipenuhi dengan perasaan cinta kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Lidah mereka senantiasa menyanjung mereka. Ahli Sunnah berpendapat bahwa para sahabat adalah generasi terbaik, karena
Allah dan Rasul-Nya telah melegitimasi
kebaikan mereka.
Mereka
berpendapat bahwa membicarakan konflik yang
terjadi di kalangan sahabat bukanlah prinsip. Prinsip
yang diyakini oleh Ahli Sunnah justru menahan diri dari konflik tersebut. Dan mereka berpendapat bahwa apabila
ada kepentingan mendesak untuk menyebut konflik yang terjadi di kalangan sahabat, maka harus
dilakukan penelitian dan check and recheck untuk mengetahui kebenaran
riwayat yang berbicara seputar
fitnah (konflik) yang terjadi di kalangan sahabat. Hal itu karena
riwayat-riwayat tersebut telah disusupi
kebohongan dan manipulasi.
Apabila
riwayat itu dinilai shahih oleh
mereka menurut ukuran jarh dan ta’dil,
dan secara dzahir menunjukkan
sahabat, maka Ahli Sunnah berusaha
memahaminya dengan kemungkinan pemahaman yang terbaik, dan mencari solusi atau
alasan yang paling bagus untuk mereka.
Mereka
berpendapat bahwa konflik yang terjadi
di kalangan sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam itu merupakan
hasil ijtihad mereka. Konflik itu terjadi karena masalah yang mereka hadapi adalah musytabihah
(samar, tidak jelas hukumnya),
sehingga hasil ijtihad mereka pun jauh berbeda. Mereka tidak lepas dari tipologi orang yang berijtihad dan benar, sehingga berhak mendapatkan dua
pahala, atau tipologi orang yang berijtihad dan salah sehingga mendapatkan satu
pahala, atau tipologi ketiga yang tidak
bisa melihat kebenaran dengan jelas sehingga memilih menghindar dari konflik.
Mereka
berpendapat bahwa para sahabat itu sangat menyesal atas akibat yang ditimbulkan oleh konflik
tersebut. Dan para sahabat itu juga merasa sangat sedih dengan hal itu, karena mereka sama sekali tidak menyangka bahwa akibat konflik itu akan sampai
demikian besar.
Ahli
Sunnah juga berpendapat bahwa para
sahabat adalah manusia terbaik, termasuk ketika dalam kondisi perang,
huru-hara, dan konflik. Kendati terjadi sesuatu di antara mereka, namun satu sama lain tidak mengkafirkan dan tidak membid’ahkan. Bahkan mereka saling menyanjung, saling
mencarikan alasan, saling menyayangi, dan saling belajar.
Meskipun demikian, Ahli
Sunnah tidak meyakini bahwa
masing-masing individu sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam itu ma’shum (terpelihara) dari
dosa besar dan
dosa
kecil. Menurut mereka, para sahabat itu secara
global bisa saja berbuat dosa, tetapi
kelebihan dan keutamaan yang mereka
miliki sangat berpotensi untuk membuat dosa-dosa itu diampuni oleh Allah.
62. Bebas dari kebingungan, Kepanikan, Keserampangan dan
Pertentangan
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang paling ridha, paling
yakin, paling tenang, paling percaya, dan paling jauh dari kebingungan, kepanikan,
serampangan, dan paradoks.
Bahkan
orang awam mereka bisa memiliki keyakinan yang dingin, aqidah yang baik dan jauh dari kebingungan, sementara hal itu tidak
dirasakan pada diri ulama golongan-golongan
yang lain, maupun kalangan cerdik pandai
dari Ahli kalam dan lain-lain yang mengalami kepanikan dalam
memantapkan aqidahnya, sehingga mereka
pun bingung dan membingungkan, lelah dan melelahkan.
Hal
itu tidak akan terjadi pada diri
mereka andaikata mereka tidak mencari petunjuk dari sumber yang tidak semestinya.
Salah satu bukti
kebingungan mereka adalah statemen para
cendekiawan Ahli kalam yang sudah sampai
pada titik jenuh tanpa mendapatkan manfaat apa-apa dan tidak memperoleh hasil
apa-apa. Berikut ini adalah Ar-Razi –salah satu dedengkot
Ahli kalam- yang sedang
meratapi dan menangisi dirinya seraya berucap:
Dan tidak akan
mengetuk-ngetuk gigi tanda penyesalan.
Dan salah satu dari mereka pernah
menyatakan:
Kulewati batas orang banyak ke puncak
tertinggi
Aku berkelana dan membiarkan mereka di tempatnya
Kuselami lautan yang tak terkira
dalamnya Kubawa diriku menyusuri
luasnya gurun sahara
Kuarungi samudera pikiran yang sangat luas
Lalu akupun berketetapan hati untuk memilih Agama orang-orang tua sebagai yang terbaik.
Di antara orang-orang yang menyelami ilmu kalam dan menyesalinya
adalah Al-Juwaini, Al- Ghazali,
Al-Khasrusyahi dan lain-lain.
Dari kalangan ulama belakangan yang pernah menyelami ilmu kalam dan
tidak mendapatkan manfaat apa-apa bahwa terjebak di dalam kebingungan dan kebimbangan adalah Imam Asy-Syaukani.
Dia pernah berbiacara tentang dirinya sendiri:
“Inilah
saya yang akan memberitahu anda tentang
diri saya dan menjelaskan kepada anda mengenai
apa yang
saya alami di masa lalu. Sewaktu masih menjadi pelajar dan dalam usia yang sangat belia saya
pernah menggeluti ilmu ini, yang terkadang
disebut Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid atau
Ilmu Ushuluddin. Aku telah mempelajari buku-buku yang ditulis oleh berbagai macam golongan
dari mereka dengan harapan akan mendapatkan manfaat dan memperoleh hasil yang
memuaskan. Tetapi saya tidak
mendapatkan apa-apa selain kekecewaan dan kebingungan. Dan hal itu menjadi
salah satu faktor yang membuat saya mencintai madzhab Salaf. Sementara sebelumnya saya sudah
pernah menganut madzhab Salaf
ini. Akan tetapi saya ingin meningkatkan
pengetahuan dan gairah saya terhadapnya.
Dan tentang hal itu saya mengatakan dalam konteks madzhab-
madzhab tersebut:
Ujung dari apa yang kudapat dari
penelitianku Dan dari analisaku setelah melalui
perenungan panjang
Adalah berhenti di antara dua jalan dalam
kebingunan
Tak ada pengetahuan bagi orang
yang belum
berjumpa
selain kebingungan
sementara aku telah menyelaminya
sedalam- dalamnya
dan
diriku tak pernah puas bila tak
menyelam dalam-dalam.
Itulah
kondisi orang-orang yang terjebak di dalam aliran-aliran Islam yang sesat.
Sedangkan
orang-orang kafir –dari kalangan atheis dan lain-lain- yang menjauhi jalan yang lurus, jangan tanyakan nestapa dan
kesengsaraan hidup mereka. Mereka hidup
di dalam level kesengsaraan dan
penderitaan yang paling rendah. Mereka telah kehilangan rasa aman, banyak terjangkit penyakit kejiwaan dan syaraf, diserang berbagai penyakit
akibat penyimpangan seksual, diliputi kecemasan, marak terjadi kasus bunuh diri dan keinginan untuk mengakhiri hidup meluas.
63. Derita yang mereka Keluhkan itu diungkapkan oleh banyak Filsuf dari Kalangan Atheis.
Ini dia filsuf Jerman yang sangat terkenal, Frederikc Nietze -setelah ia melepaskan pikirannya
dari aqidah iman kepada Allah, hikmah di balik cobaan dan bahwa di belakang kehidupan dunia ini ada
kehidupan lain, yaitu tempat kelanggengan, balasan dan perhitungan amal- ia berbicara sangat fasih mengenai isi hatinya berikut
penderitaan dan kesengsaraan yang ia keluhkan. Ia mengatakan: “Sungguh, aku tahu benar mengapa manusia adalah
satu-satunya makhluk hidup yang tertawa. Sebab, manusia merasakan keluhan yang sangat berat sehingga membuatnya terpaksa menciptakan tawa
Dan ini adalah filsuf Inggris terkenal,
Herbet Spencer yang teori-teori
pendidikannya dipelajari di banyak tempat
di seluruh dunia, bahkan di negara-negara Islam. Menjelang kematiannya ia
melakukan refleksi dan review terhadap perjalanan hidupnya ke belakang. Ternyata ia memandangnya
sebagai hari-hari yang seluruhnya habis untuk mengejar popularitas di bidang
sastera, tanpa pernah menikmati
sedikitpun dari kehidupan itu sendiri. Lalu ia menertawakan dan mengolok- olok dirinya
sendiri. Dan ia berkhayal seandainya ia menghabiskan
hari-hari yang sudah berlalu itu dalam
kehidupan yang bersahaja dan bahagia. Lalu ketika meninggal dunia ia yakin bahwa dirinya tidak melakukan apa-apa di dalam hidupnya selain sia-sia.
Berikutnya
ada seorang filsuf pesimistis yang atheis, Arthur Shobenhour sewaktu ia
menarik diri dari persepsi tentang masalah
iman kepada Allah dan hari
Akhir, dan menolak konsep hikmah di balik bencana,
ia memandang kehidupan ini dengan pandangan yang
dipenuhi dengan perasaan pesimistis. Ia melihat
bahwa kenikmatan hidup itu semuanya
adalah sia-sia dan tujuan manusia akan bergerak ke arah putus asa. Salah satu statemennya
tentang hal itu adalah: “Jika
kita mencermati kehidupan yang hiruk-pikuk
ini, niscaya kita akan melihat semua
manusia sibuk dengan tuntutan daripada kebutuhan dan kesengsaraan. Dan mereka
mengerahkan seluruh kekuatan mereka
agar bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan dunia yang
tidak ada habisnya dan agar bisa menghapus kesedihan-kesedihannya yang
sangat banyak.” (Kawas yif Zuyuf fi Al-Madzahib Al-Fikriyah Al-Mu’as hirah, Abdurrahman
Al-Maidani, hal.561 ).
Bandingkan
kondisi mereka dengan kondisi Saikhul Islam Ibnu
Taimiyah ketika digiring ke penjara,
lalu mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Apa yang
dilakukan musuh- musuhku terhadapku?
Aku, Surgaku dan tamanku ada di dalam
dadaku. Kemanapun aku pergi ia selalu
bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku.
Aku, penjaraku adalah khalwat (kontemplasi),
pembunuhanku adalah mati syahid dan pengusiranku dari negeriku adalah rekreasi..
Ibnu Taimiyah juga pernah menyatakan:
“Sesungguhnya di dunia ini ada
sebuah Surga yang barangsiapa
belum pernah memasukinya, maka ia tidak akan masuk Surga Akhirat.”
64. Menjadi Tempat Kembalinya Orang-orang sesat dan Ahli
Bid’ah
Apabila salah seorang dari mereka
bertaubat dan melepaskan kesesatannya atau meninggalkan bid’ahnya dan kembali
kepada kebenaran, maka yang bersangkutan dibilang: “Ia kembali
kepada Sunnah dan kembali kepada manhaj Ahli Sunnah.”
Andaikata
Ahli Sunnah tidak berpegang pada kebenaran,
tentunya mereka atau madzhab mereka tidak menjadi tempat kembali.
65. Menolak
Takwil yang Tercela
Yaitu takwil yang substansinya adalah memalingkan lafazh dari makna dzahirnya yang rajih
(kuat) kepada kemungkinan makna yang marjuh (lemah).
Takwil
jenis inilah yang dicela oleh generasi Salaf dan
diperingatkan agar dijauhi. Oleh karena itu kalangan Ahli Sunnah menolaknya
dan tidak mau menerimanya, karena
mereka tahu akan bahayanya. Takwil semacam itu
adalah musuh risalah (ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam).
Gara-gara takwil itulah Utsman bin
Affan dibunuh. Dan gara-gara itu pula muncul golongan Muktazilah, Rafidlah dan Khawarij.
66. Keyakinan
yang Mantap bahwa tidak ada seorangpun yang boleh keluar dari syariat Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Salam
Ahli Sunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa seorang hamba (baca:manusia) tidak bisa lepas dari pengabdian kepada Raab
alam semesta, dan sama sekali tidak boleh menganut agama di luar agama Islam atau mengikuti
syariat di luar syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Mereka
berendapat bahwa ia harus mengabdi kepada Tuhannya sampai mati. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (QS. Al-Hijr:99).
Yang dimaksud dengan “keyakinan” di
sini adalah kematian. Ini berbeda dengan orang-orang yang berhukum kepada
selain syariat Islam, atau
orang-orang
yang berpendapat bahwa syariat Islam telah dinasakh dengan syariat lain,
seperti klaim kaum Babiyah, Baha’iyah
dan Qodiyaniyah.
Dan juga berbeda dengan kaum sufi yang berpendapat
bahwa apabila seorang hamba berhasil
naik ke maqom penyaksian hakikat alam, maka tabir akan lenyap dari
dirinya, ia akan datang kepadanya
keyakinan, dan dibebaskan dari
beban-beban syariat, sehingga ia tidak perlu lagi shalat, puasa dan sebagainya. Semoga Allah melindungi kita dari perilaku zindiq.
67. Berhati-hati
terhadap inforamasi dan tidak gegabah dalam memberikan vonis
Hal
itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat:6).
Berbeda dengan orang-orang yang suka tergesa-gesa
dalam memberikan vonis dan gegabah dalam menyematkan tuduhan terhadap
orang-orang yang tidak bersalah. Lalu memfasiqkan, membid’ahkan
dan mengkafirkan berdasarkan tuduhan dan
dugaan tanpa ada sedikitpun bukti atau argumen yang kuat.
(Lihat: Tas hnif An-Naas baina
Adh-Dhan wa Al-Yaqin, Syaikh DR. Bakar Abu Zaid).
68. Selalu berusaha membersihkan jiwa
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang paling getol dalam
berusaha membersihkan jiwa mereka dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah tanpa disertai sikap ekstrem ke atas
atau ke bawah. Jadi mereka sangat concern terhadap
keshalihan lahir dan batin, dan selalu mendekatkan diri
kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah
setelah ibadah-ibadah
fardlu (wajib). Mereka tekun mengerjakan
shalat wajib, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Raadhan dan menunaikan ibadah haji ke tanah
suci bagi orang yang mampu.
Ahli
Sunnah wal Jama’ah juga senantiasa
bergegas dan berlomba-lomba mengerjakan amal
shalih, banyak berdzikir,
shalat sunnah, bersedekah dan ibadah-ibadah lainnya.
69. Setiap Saat
Selalu Mencari Ridha Allah Dengan Mengerjakan Amal Yang Relavan
Menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah, ibadah yang paling
utama pada waktu jihad adalah berjihad. Meskipun hal itu membuat mereka
meninggalkan dzikir dan wirid. Sedangkan pada
saat kebutuhan akan amar ma’ruf
dan nahi munkar mendesak, maka ibadah yang
paling utama adalah melaksanakan kewajiban itu. Dan pada saat kedatangan
tamu, maka ibadah yang paling
utama adalah memuliakan dan melayani tamu. Dan seterusnya…
Berbeda dengan orang-orang
yang tidak bisa keluar dari ibadah tertentu akrab dengannya. Sedangkan Ahli Sunnah
wal Jama’ah akan selalu berpindah-pindah di antara tingkatan- tingkatan
ibadah, level-levelnya dan maqom- maqomnya.
70. Mendapatkan
hakikat-hakikat ilmu dan amal dalam waktu yang sangat singkat sekalian kali
lebih banyak disbanding dengan apa yang didapatkan oleh golongan lain dalam
beberapa abad dan beberapa generasi.
Ini adalah
sesuatu yang nyata dan konkrit. Karena iman yang benar dan mantap akan menguatkan intelegensia,
mempertajam bakat, meningkatkan ilmu dan iman, mendatangkan keberkahan di dalam amal,
meskipun sedikit dan keberkahan di
dalam waktu, meskipun pendek.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu.” (QS. Al-Baqarah:282).
“Dan
kepada orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah akan
menambah petunjuk mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad:17).
“Dan
sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih
baik bagi mereka dan lebih menguatkan. Dan kalau demikian adanya, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar
dari sisi Kami, dan pasti Kami
tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisaa’:66-68).
71. Mendapatkan Kabar Gembira Ketika Meninggal
Dunia.
Hal
itu diperoleh Ahli Sunnah wal
Jama’ah karena keimanan mereka kepada Allah dan istiqomah mereka dalam
melaksanakan perintah-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqomah,
maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:
"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih”. Dan berilah mereka
kabar gembira dengan Surga yang telah
dijanjikan oleh Allah kepadamu". (QS.
Fushshilat:30).
72. Getaran Hati Dan
Air Mata
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang hatinya hidup,
matanya selalu berderai karena takut kepada Allah, mudah tersentuh dengan Al-Qur’an dan luluh hati saat mendengarkan nasihat. Hal itu
karena di dalam hati mereka ada perasaan
takut dan hormat kepada Allah.
Berbeda dengan kalangan lain yang tebal rasa dan keras hati. Dan berbeda
dengan orang- orang yang suka pura-pura menangis, seperti kaum Rafidlah
(Syi’ah) yang membiasakan anak-anaknya untuk menangis
saat berkabung. Sehingga ketika mereka dewasa, mereka sudah terbiasa menangis kapan saja mereka mau.
Jadi, tangisan mereka adalah sesuatu yang optional
(pilihan) dan kesedihan mereka adalah kesedihan yang dibuat-buat.
73. Wajah
Yang Putih dan Berseri-Seri di Dunia dan Akhirat
Wajah yang
putih dan berseri-seri selalu dimiliki oleh Ahli Sunnah dan Ahli ibadah.
Sedangkan wajah yang hitam dan muram selalu dimiliki oleh Ahli bid’ah dan Ahli
maksiat. Dan tepat sekali bila Imam Syafi’I menyatakan:
Karakter seorang pemuda memiliki sebuah tanda
Yang berkibar-kibar di atas keningnya.
Jadi wajah yang putih dan berseri-seri itu
dimiliki oleh Ahli Sunnah di dunia dan Akhirat.
Selama di dunia, wajah mereka
putih, bersinar dan semakin berseri-seri karena adanya aqidah yang baik, hati yang suci dan
amal yang shalih. Sebab, hal itu memiliki pengaruh yang kuat di dalam diri manusia.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Setiap
kali kebajikan dan ketaqwaan meningkat, maka menguatlah
keelokan dan keindahan. Dan setiap kali dosa dan pelanggaran meningkat,
maka menguatkan keburukan dan kejelekan.
Dan kita menemukan wajah Ahli
bid’ah dan Ahli maksiat semakin tua semakin
parah keburukan dan kejelekannya.
Bahkan ada orang yang tidak kuasa
memandangnya, padahal di masa mudanya ia silau oleh keelokan rupanya.
Hal itu terlihat
jelas oleh siapa saja pada diri orang
yang bid’ah dan kesesatannya sangat
parah, seperti kaum Rafidlah (Syi’ah),
orang zhalim dan biadab, baik dari bangsa Turki maupun lainnya.
Seorang penganut Rafidlah
(Syi’ah) semakin tua umurnya semakin
buruk wajahnya dan semakin parah kejelekannya. Bahkan bisa disamakan dengan babi, dan boleh jadi berubah wujud menjadi
babi, sebagaimana banyak dikabarkan
dari mereka.
Sedangkan
di Akhirat wajah Ahli Sunnah wal Jama’ah tampak putih berseri ketika mereka
menghadap kepada Tuhan. Allah Ta’ala berfirman:
“Pada
hari yang di mana ada wajah yang
putih berseri, dan ada pula wajah
yang hitam muram.” (QS. Ali Imran:106).
74. Kebaikannya dilipat Gandakan dan Derajatnya dinaikan
Salah satu
faktor yang menyebabkan
dilipatgandakannya kebaikan dan dinaikkannya derajat –bahkan merupakan landasan
dan dasarnya- adalah aqidah yang benar dan iman yang kuat.
Sementara Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling benar aqidahnya dan paling kuat imannya. Oleh karena itu amal
perbuatan mereka dilipatgandakan sebanyak- banyaknya dan derajat
mereka dinaikkan setinggi-tingginya sehingga tidak tertandingi oleh siapapun.
Kecuali oleh orang yang memiliki
aqidah dan iman yang sama dengan
mereka.
Oleh
karena itu kaum Salaf mengatakan: “Ahli Sunnah
wal Jama’ah apabila dibuat duduk oleh pekerjaan mereka, maka keyakinan
mereka akan membangkitkan mereka.
Sedangkan Ahli bid’ah apabila pekerjaan mereka
banyak, maka keyakinan mereka akan membuat
mereka duduk.
Pelajaran
yang bisa diambil dari situ ialah bahwa
Ahli Sunnah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan Ahli
bid’ah adalah orang-orang yang tersesat. Dan
bisa diketahui dengan jelas
perebedaan antara orang yang berjalan
di atas jalan yang lurus dengan orang
yang menyimpang dari jalan tersebut
menuju ke jalur Neraka jahim.
Itulah
kelebihan Ahli Sunnah wal Jama’ah dan itulah karakteristik
mereka yang membedakan mereka dengan golongan-golongan lainnya. Itu semua adalah
perilaku-perilaku yang diterapkan oleh
generasi Salaf kita yang shalih, sehingga mereka mendapatkan banyak kebaikan
dan memperoleh banyak keberkahan.
Namun
hal itu
tidak berarti bahwa Ahli Sunnah wal Jama’ah terpelihara dari
kesalahan (ma’shum). Yang ma’shum adalah manhaj dan Jama’ah mereka.
Sedangkan
personel-personel mereka bisa jadi
melakukan kezhaliman, penyimpangan, pelanggaran dan berbuat maksiat, namun terbilang kecil dibandingkan dengan
golongan- golongan yang lain, dan
orang yang melakukan hal itupun tidak dibiarkan begitu saja,
sebagaimana dijelaskan di muka.
Barang
siapa yang melakukan suatu pelanggaran
hukum, maka ia menjauh dari petunjuk Ahli Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan
kadar pelanggaran tersebut dan
kehilangan kebaikan sesuai dengan
kejauhannya dari Sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keistimewaan
Alhi Sunnah Wal Jama’ah
1.
Berusaha
mencari kesempurnaan tetapi tidak menuntut sesuatu yang mustahil.
2.
Tidak berteman dan tidak bermusuhan kecuali atas dasar agama.
3.
Satu sama lain
saling mencinta dan saling
menyayangi.
4.
Satu sama lain tidak saling mengkafirkan.
5.
Secara umum bersih dari noda-noda bid’ah, syirik dan dosa
besar.
6.
Hati dan lidah mereka
bersih dari penghinaan terhadap sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
7.
Bebas
dari kebingungan, kepanikan, keserampangan dan paradoks.
8.
Menjadi tempat kembalinya orang-orang
sesat dan Ahli bid’ah.
9.
Menolak takwil yang tercela.
10. Keyakinan yang mantap bahwa tidak ada seorangpun yang boleh keluar dari
syariat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
11. Berhati-hati
terhadap informasi dan tidak gegabah dalam memberikan vonis.
12.
Selalu berusaha
membersihkan jiwa.
13. Setiap saat selalu mencari ridha Allah dengan mengerjakan amal yang relevan.
14. Mendapatkan
hakikat-hakikat ilmu dan amal dalam waktu yang singkat
sekian kali lipat lebih banyak
dibanding dengan apa yang didapatkan oleh golongan lain
dalam beberapa abad dan beberapa generasi.
15.
Mendapatkan
berita gembira ketika meninggal dunia.
16.
Getaran
hati dan air mata.
17.
Wajah yang putih dan berseri-seri di dunia dan Akhirat.
18.
Kebaikannya
dilipatgandakan dan derajatnya dinaikkan.
B.
Saran
Demikian
makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran
dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat
mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari
salah khilaf, Alfa dan lupa.
Daftar Pustaka
http://dear.to/abusalma ; Maktabah Abu Salma
al-Atsari
Syaikh Muhammad Ibrahim Al-Hamd : Alhi
Sunnah Wal Jama’ah
EmoticonEmoticon