KARAKTERISTIK AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH

07:04


http://d.gr-assets.com/books/1235715077l/2786844.jpg
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Aqidah Islam, sebagaimana tercermin pada aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, adalah aqidah yang benar dan diridhai oleh Allah untuk hamba- hamba-Nya. Itulah aqidah para Nabi dan Rasul, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka, yaitu para da’i dan orang-orang yang melakukan perbaikan sampai hari Kiamat.
Mendakwahkan aqidah ini bisa dilakukan dengan cara menunjukkan rambu rambunya, menyebarluaskan kebaikan-kebaikannya, mempopulerkan keistimewaan keistimewaannya dan karakteristik-karakteristik para penganutnya, serta membersihkannya dari hal-hal yang dilekatkan kepadanya. Seperti penyimpangan orang orang yang berlebih-lebihan dan pengakuan para pendusta, agar jalannya menjadi jelas, dalilnya menjadi nyata, hujjahnya menjadi tegak, dan simbolnya menjadi terang.
Oleh karena itu, adalah kewajiban  kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah (pengikut generasi Salafush shalih) untuk meneriakkan kebenaran dan menyebarluaskan aqidah mereka ditengah- tengah makhluk. Supaya Allah berkenan memberikan petunjuk kepada orang yang telah mendapatkan kebaikan. Supaya orang yang  binasa menerima kebinasaannya secara  nyata dan, sebaliknya, orang yang hidup menjalani kehidupannya secara nyata.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Keistimewaan ahli sunnah wal jama’ah ?
2.      Bagaimana Kedudukan ahli sunnah wal jama’ah ?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui Keistimewaan ahli sunnah wal jama’ah
2.      Bisa membedakan keistimewaan ahli sunnah wal jama’ah dengan yang lain
3.      Berusaha melaksanakannya

D.     
BAB II
PEMBAHASAN
      A.    KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM (AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH.
56.  Berusaha Mencari Kesempurnaan Tetapi Tidak Menuntut Sesuatu Yang Mustahil
Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu berusaha mendapatkan sesuatu yang paling sempurna, mencari yang paling ideal dalam segala hal, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan manfaat dan menyempurnakannya, serta meniadakan kerusakan dan meminimalkannya.
Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal itu adalah bahwa Ahli Sunnah berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi imam di dalam shalat adalah orang yang paling mahir membaca Al-Qur’an, kemudian orang yang berada di bawahnya, dan seterusnya.
Kemudian apabila di suatu tempat tidak ada orang lain selain kumpulan orang-orang fasiq, maka yang paling berhak menjadi  imam adalah orang yang paling minim kefasiqannya, dan seterusnya.
Begitu juga halnya dengan kemunkaran. Mereka berusaha keras untuk melenyapkannya secara total dan memberantasnya hingga  ke  akar-akarnya. Dan jika ternyata mereka tidak bisa memberantasnya secara keseluruhan, maka mereka akan memberantasnya sebatas kemampuan mereka dan berusaha keras untuk mengatasi sisanya. Begitulah seterusnya.
Sedangkan golongan yang lain, terkadang tuntutan mereka untuk menggapai kesempurnaan membuat mereka menuntut sesuatu yang mustahil. Seperti ketika kaum Khawarij melepaskan ikatan bai’at kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, karena –menurut mereka- ia telah berhukum kepada manusia dalam masalah   kitab   Allah.   Mereka  menyatakan

“Kami tidak mau kecuali orang seperti Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.” Akan tetapi, dari mana mendapatkan orang seperti Umar? Ini adalah tuntutan yang tidak pada tempatnya. Padahal Ali adalah figur terbaik pada zamannya.
Akhirnya, mereka meninggalkan Ali dan melepaskan bai’at kepadanya. Andai saja ketika melakukan hal itu mereka kemudian berbai’at kepada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, seperti Ibnu Umar, Sa’id bin Zaid, atau sahabat-sahabat lainnya yang masih hidup ketika itu. Sikap ekstrem mereka justru mengantarkan mereka pada kondisi meremehkan. Mereka justru mengganti yang baik dengan yang lebih jelek. Mereka membai’at Syait bin Rab’iy, mu’adzinnya Sajjah sewaktu mendeklarasikan diri sebagai nabi sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Namun akhirnya Allah memberikan rahmat-Nya, sehingga ia melarikan diri dari mereka dan menyadari kesesatan mereka. Akhirnya, mereka tidak punya pilihan lain selain Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, seorang Badui yang suka kencing di atas kedua tumitnya. Ia bukan generasi awal Islam, bukan  sahabat Nabi Shallallahu‘alaihi wa Salam, bukan Ahli fiqih, dan bukan orang yang dipersaksikan baik oleh Allah Ta’ala.
57.  Tidak Berteman dan Tidak Bermusuhan Kecuali Atas Dasar Agama
Ahli Sunnah wal Jama’ah tidak suka membela kepentingan pribadi atau marah untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak mau berteman karena sentimen  Jahiliyah, fanatisme madzhab, atau bendera golongan. Mereka hanya berteman atas dasar agama. Sebab pertemanan (wala’) mereka adalah karena Allah, dan permusuhan (bara’)  mereka pun karena Allah. Sikap mereka konsisten dan tidak berubah-ubah.
58.  Satu Sama Lain Saling Mencintai dan Saling Menyayangi
Ahli Sunnah wal Jama’ah saling mengasihi dan saling mencintai. Satu sama lain saling menyayangi, saling melindungi, dan saling mendoakan.
Hal itu tidak lain karena aqidah mereka yang baik dan amal mereka yang shalih. Allah Ta’ala telah memberitahukan bahwa Dia memberikan rasa kasih sayang bagi orang- orang yang beriman dan beramal shalih.
Allah Ta’ala juga memberitahukan bahwa orang-orang beriman satu sama lain, saling menyayangi dan saling mendoakan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan di dalam diri mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Dan berfirman,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Hasyr: 10)
Umat Nashrani yang melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka telah ditimbulkan oleh Allah rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Maka setiap kali gereja-gereja mereka mengadakan rapat untuk bersepakat atau mufakat, justru gap (kesenjangan) di antara mereka semakin lebar dan perbedaan semakin luas.
Begitu juga dengan orang-orang komunis yang atheis. Setiap kali ada pemimpin baru, maka  ia akan mengutuk pemimpin sebelumnya, melecehkan mimpinya, mencaci-makinya dan menjelek-jelekkannya.
Demikian pula halnya keadaan kelompok- kelompok sesat, mereka tidak bisa bersatu dan bersepakat
59.  Satu Sama Lain Tidak Saling Mengkafirkan
Ahli Sunnah wal Jama’ah bersih dari tindakan semacam itu. Mereka membantah orang yang menentang pendapat mereka dan menjelaskan hal yang sebenarnya kepada masyarakat. Mereka menyalahkan, tetapi tidak mengkafirkan, tidak membid’ahkan, dan tidak memfasiqkan kecuali orang yang berhak menerimanya.
Berbeda dengan golongan-golongan lain, seperti Khawarij yang di tengah-tengah mereka banyak terjadi perselisihan, penyesatan, dan pengkafiran. Oleh karena itu, anda menemukan mereka saling mengkafirkan satu sama lain ketika terjadi konflik di antara mereka mengenai fatwa yang detil dan kecil (furu’).
60.  Secara Umum Bersih, Dan Noda-Noda Bid’ah, Syirik, Dan Dosa Besar
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling selamat dari bid’ah dan bersih dari syirik. Sedangkan maksiat dan dosa besar, terkadang sebagian Ahli Sunnah terjerumus ke dalamnya. Dan sebagian mereka juga melakukan kecurangan, kezhaliman, dan kebodohan. Hanya saja,  hal-hal semacam  itu di kalangan Ahli Sunnah terbilang kecil dibanding yang lainnya.
Apa pun bentuk kezhaliman, kecurangan, kebodohan, dan pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya di lingkungan Ahli Sunnah wal Jama’ah, hal itu lebih kecil dibanding yang ada di dalam golongan-golongan lainnya. Sementara ilmu pengetahuan, keadilan, kebaikan, keberanian, ibadah, dan jihad yang dimiliki oleh Ahli Sunnah lebih baik dan lebih sempurna dibanding yang dimiliki oleh Ahli bid’ah.
Berbeda dengan golongan-golongan lain, seperti Rafidlah (Syi’ah). Mereka berpendapat bahwa memuliakan kuburan dan memasang kubah di atasnya adalah bagian dari agama. Mereka juga berpendapat bahwa kemunafikan dan kebohongan yang mereka sebut “taqiyah” adalah 90% dari agama, dan bahwa orang yang tidak memiliki “taqiyah” berarti tidak memiliki agama.
Begitu juga dengan kaum Nushairiyah (salah satu sekte Syi’ah) yang mengkultuskan khamr (arak) dan menganggapnya sebagai bagian dari syariat agama mereka.
61.  Hati dan Lidah Mereka Bersih dari Penghinaan Terhadap Sahabat-sahabat Rasulullah SAW
Hati Ahli Sunnah wal Jama’ah dipenuhi dengan perasaan cinta kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Lidah mereka senantiasa menyanjung mereka. Ahli Sunnah berpendapat bahwa para sahabat adalah generasi terbaik, karena Allah dan Rasul-Nya telah melegitimasi  kebaikan mereka.
Mereka berpendapat bahwa membicarakan konflik yang terjadi di kalangan sahabat bukanlah prinsip. Prinsip yang diyakini  oleh Ahli Sunnah justru menahan diri dari konflik tersebut. Dan mereka berpendapat bahwa apabila ada kepentingan mendesak untuk menyebut konflik yang terjadi di kalangan sahabat, maka harus dilakukan penelitian dan check and recheck untuk mengetahui kebenaran riwayat yang berbicara seputar fitnah (konflik) yang terjadi di kalangan sahabat. Hal itu karena riwayat-riwayat tersebut telah disusupi kebohongan dan manipulasi.
Apabila riwayat itu dinilai shahih oleh mereka menurut ukuran jarh dan ta’dil, dan secara dzahir menunjukkan sahabat, maka Ahli Sunnah berusaha memahaminya dengan kemungkinan pemahaman yang terbaik, dan mencari solusi atau alasan yang paling bagus untuk mereka.
Mereka berpendapat bahwa konflik  yang terjadi di kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam itu merupakan hasil ijtihad mereka.  Konflik   itu  terjadi  karena  masalah yang mereka hadapi adalah musytabihah (samar, tidak jelas hukumnya), sehingga hasil ijtihad mereka pun jauh berbeda. Mereka tidak lepas dari tipologi orang yang berijtihad dan benar, sehingga berhak mendapatkan dua pahala, atau tipologi orang yang berijtihad dan salah sehingga mendapatkan  satu  pahala, atau tipologi ketiga yang tidak bisa melihat kebenaran dengan jelas sehingga memilih menghindar dari konflik.
Mereka berpendapat bahwa para sahabat itu sangat menyesal atas akibat yang ditimbulkan oleh konflik tersebut. Dan para sahabat  itu juga merasa sangat sedih dengan hal itu, karena mereka sama sekali tidak menyangka bahwa akibat konflik itu akan sampai demikian besar.
Ahli Sunnah juga berpendapat bahwa para sahabat adalah manusia terbaik, termasuk ketika dalam kondisi perang, huru-hara, dan konflik. Kendati terjadi sesuatu di antara mereka, namun satu sama lain tidak mengkafirkan dan tidak membid’ahkan.  Bahkan mereka saling menyanjung, saling mencarikan alasan, saling menyayangi, dan saling belajar.
Meskipun demikian, Ahli Sunnah tidak meyakini bahwa masing-masing individu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam itu ma’shum  (terpelihara)  dari  dosa  besar  dan dosa kecil. Menurut mereka, para sahabat itu secara global bisa saja berbuat dosa, tetapi kelebihan dan keutamaan yang mereka miliki sangat berpotensi untuk membuat dosa-dosa itu diampuni oleh Allah.
62.  Bebas dari kebingungan, Kepanikan, Keserampangan dan Pertentangan
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling ridha, paling yakin, paling tenang, paling percaya, dan paling jauh dari kebingungan, kepanikan, serampangan, dan paradoks.
Bahkan orang awam mereka bisa memiliki keyakinan yang dingin, aqidah yang baik dan jauh dari kebingungan, sementara hal itu tidak dirasakan pada  diri  ulama golongan-golongan

yang lain, maupun kalangan cerdik pandai dari Ahli kalam dan lain-lain yang mengalami kepanikan dalam memantapkan aqidahnya, sehingga mereka pun bingung dan membingungkan, lelah dan melelahkan.
Hal itu tidak akan terjadi pada diri mereka andaikata mereka tidak mencari petunjuk dari sumber yang tidak semestinya.
Salah satu bukti kebingungan mereka adalah statemen para cendekiawan Ahli kalam yang sudah sampai pada titik jenuh tanpa mendapatkan manfaat apa-apa dan tidak memperoleh hasil apa-apa. Berikut ini adalah Ar-Razi –salah satu dedengkot Ahli kalam- yang sedang meratapi dan menangisi dirinya seraya berucap:
Dan tidak akan mengetuk-ngetuk gigi tanda penyesalan.
Dan salah satu dari mereka pernah menyatakan:
Kulewati batas orang banyak ke puncak tertinggi
Aku berkelana dan membiarkan mereka di tempatnya
Kuselami lautan yang tak terkira dalamnya Kubawa diriku menyusuri luasnya gurun sahara
Kuarungi samudera pikiran yang sangat luas Lalu akupun berketetapan hati untuk memilih Agama orang-orang tua sebagai yang terbaik.
Di antara orang-orang yang menyelami ilmu kalam dan menyesalinya adalah Al-Juwaini, Al- Ghazali, Al-Khasrusyahi dan lain-lain.
Dari kalangan ulama belakangan yang pernah menyelami ilmu kalam dan tidak mendapatkan manfaat apa-apa bahwa terjebak di dalam kebingungan dan kebimbangan adalah Imam Asy-Syaukani. Dia pernah berbiacara tentang dirinya sendiri:
“Inilah saya yang akan memberitahu anda tentang diri saya dan menjelaskan kepada anda mengenai apa yang saya alami di masa lalu. Sewaktu masih menjadi pelajar  dan dalam usia yang sangat belia saya pernah menggeluti ilmu ini, yang terkadang disebut Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid atau Ilmu  Ushuluddin. Aku telah mempelajari buku-buku yang ditulis oleh berbagai macam golongan dari mereka dengan harapan akan mendapatkan manfaat dan memperoleh hasil yang memuaskan. Tetapi saya tidak mendapatkan apa-apa selain kekecewaan dan kebingungan. Dan hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat saya mencintai madzhab Salaf. Sementara sebelumnya saya sudah pernah menganut madzhab Salaf ini. Akan tetapi saya ingin meningkatkan pengetahuan dan gairah saya terhadapnya. Dan tentang hal itu saya mengatakan dalam konteks madzhab- madzhab tersebut:
Ujung dari apa yang kudapat dari penelitianku Dan dari analisaku setelah melalui perenungan panjang
Adalah berhenti di antara dua jalan dalam kebingunan
Tak ada  pengetahuan  bagi orang  yang belum
berjumpa
selain kebingungan
sementara aku telah menyelaminya sedalam- dalamnya

dan diriku tak pernah puas bila tak menyelam dalam-dalam.
Itulah kondisi orang-orang yang terjebak di dalam aliran-aliran Islam yang sesat.
Sedangkan orang-orang kafir –dari kalangan atheis dan lain-lain- yang menjauhi jalan yang lurus, jangan tanyakan nestapa dan kesengsaraan hidup mereka. Mereka hidup di dalam level kesengsaraan dan penderitaan yang paling rendah. Mereka telah kehilangan rasa aman, banyak terjangkit penyakit kejiwaan dan syaraf, diserang berbagai penyakit akibat penyimpangan seksual, diliputi kecemasan, marak terjadi kasus bunuh diri dan keinginan untuk mengakhiri hidup meluas.
63.  Derita yang mereka Keluhkan itu diungkapkan oleh banyak Filsuf dari Kalangan Atheis.
Ini dia filsuf Jerman yang sangat terkenal, Frederikc Nietze -setelah ia melepaskan pikirannya dari aqidah iman kepada Allah, hikmah di balik cobaan dan bahwa di belakang kehidupan dunia ini ada kehidupan lain, yaitu tempat kelanggengan, balasan  dan perhitungan amal- ia berbicara sangat fasih mengenai isi hatinya berikut penderitaan dan kesengsaraan yang ia keluhkan. Ia mengatakan: “Sungguh, aku tahu benar mengapa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang tertawa. Sebab, manusia merasakan keluhan    yang sangat berat sehingga membuatnya terpaksa menciptakan tawa

Dan ini adalah filsuf Inggris terkenal, Herbet Spencer yang teori-teori pendidikannya dipelajari di banyak tempat di seluruh dunia, bahkan di negara-negara Islam. Menjelang kematiannya ia melakukan refleksi dan review terhadap perjalanan hidupnya ke belakang. Ternyata ia memandangnya sebagai hari-hari yang seluruhnya habis untuk mengejar popularitas di bidang sastera, tanpa pernah menikmati sedikitpun dari kehidupan itu sendiri. Lalu ia menertawakan dan mengolok- olok dirinya sendiri. Dan ia berkhayal seandainya ia menghabiskan hari-hari yang sudah berlalu itu dalam kehidupan yang bersahaja dan bahagia. Lalu ketika meninggal dunia ia yakin bahwa dirinya tidak melakukan apa-apa di dalam hidupnya selain sia-sia.
Berikutnya ada seorang filsuf pesimistis yang atheis, Arthur Shobenhour sewaktu ia menarik diri dari persepsi tentang masalah  iman kepada Allah dan hari Akhir, dan menolak konsep hikmah di balik bencana, ia memandang kehidupan ini dengan pandangan yang dipenuhi dengan perasaan pesimistis.  Ia melihat bahwa kenikmatan hidup itu  semuanya adalah sia-sia dan tujuan manusia akan bergerak ke arah putus asa. Salah satu statemennya tentang hal itu adalah: “Jika kita mencermati kehidupan yang hiruk-pikuk ini, niscaya kita akan melihat semua manusia sibuk dengan tuntutan daripada kebutuhan  dan kesengsaraan. Dan mereka mengerahkan seluruh kekuatan mereka agar bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan dunia yang tidak ada habisnya dan agar bisa menghapus kesedihan-kesedihannya yang sangat banyak.” (Kawas yif Zuyuf fi Al-Madzahib Al-Fikriyah Al-Mu’as hirah, Abdurrahman Al-Maidani, hal.561 ).
Bandingkan kondisi mereka dengan kondisi Saikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika digiring ke penjara, lalu mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Apa yang dilakukan musuh- musuhku terhadapku? Aku, Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku. Kemanapun aku pergi ia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Aku, penjaraku adalah khalwat (kontemplasi), pembunuhanku adalah mati syahid dan pengusiranku dari negeriku adalah rekreasi..
Ibnu Taimiyah juga pernah menyatakan: “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah Surga yang barangsiapa belum  pernah memasukinya, maka ia tidak akan masuk Surga Akhirat.”
64.  Menjadi Tempat Kembalinya Orang-orang sesat dan Ahli Bid’ah
Apabila salah seorang dari mereka bertaubat dan melepaskan kesesatannya atau meninggalkan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran, maka yang bersangkutan dibilang: “Ia kembali kepada Sunnah dan kembali kepada manhaj Ahli Sunnah.”
Andaikata Ahli Sunnah tidak berpegang pada kebenaran, tentunya mereka atau madzhab mereka tidak menjadi tempat kembali.
65.  Menolak Takwil yang Tercela
Yaitu takwil yang substansinya adalah memalingkan lafazh dari makna dzahirnya yang rajih (kuat) kepada kemungkinan makna yang marjuh (lemah).
Takwil jenis inilah yang dicela oleh generasi Salaf dan diperingatkan agar dijauhi. Oleh karena itu kalangan Ahli Sunnah menolaknya dan tidak mau menerimanya, karena mereka tahu akan bahayanya. Takwil semacam itu adalah musuh risalah (ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam). Gara-gara takwil itulah  Utsman  bin  Affan  dibunuh.  Dan gara-gara itu pula muncul golongan Muktazilah, Rafidlah dan Khawarij.

66.  Keyakinan yang Mantap bahwa tidak ada seorangpun yang boleh keluar dari syariat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Ahli Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa seorang hamba (baca:manusia) tidak bisa lepas dari pengabdian kepada Raab alam semesta, dan sama sekali tidak boleh menganut agama di luar agama Islam atau mengikuti syariat di luar syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Mereka berendapat bahwa ia harus mengabdi kepada Tuhannya sampai mati. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu  keyakinan.” (QS. Al-Hijr:99).
Yang dimaksud dengan “keyakinan” di sini adalah kematian. Ini berbeda dengan orang-orang yang berhukum  kepada  selain  syariat  Islam, atau

orang-orang yang berpendapat bahwa syariat Islam telah dinasakh dengan syariat lain, seperti klaim kaum Babiyah, Baha’iyah dan Qodiyaniyah.
Dan juga berbeda dengan kaum sufi yang berpendapat bahwa apabila seorang hamba berhasil naik ke maqom penyaksian hakikat alam, maka tabir akan lenyap dari dirinya, ia akan datang kepadanya keyakinan, dan dibebaskan dari beban-beban syariat, sehingga ia tidak perlu lagi shalat, puasa dan sebagainya. Semoga Allah melindungi kita dari perilaku zindiq.
67.  Berhati-hati terhadap inforamasi dan tidak gegabah dalam memberikan vonis
Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat:6).
Berbeda dengan orang-orang yang suka tergesa-gesa dalam memberikan vonis dan gegabah dalam menyematkan tuduhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Lalu memfasiqkan, membid’ahkan dan mengkafirkan berdasarkan tuduhan dan dugaan tanpa ada sedikitpun bukti atau argumen yang kuat. (Lihat: Tas hnif An-Naas baina Adh-Dhan wa Al-Yaqin, Syaikh DR. Bakar Abu Zaid).

68.  Selalu berusaha membersihkan jiwa
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling getol dalam berusaha membersihkan jiwa mereka dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah tanpa disertai sikap ekstrem ke atas atau ke bawah. Jadi mereka sangat concern terhadap keshalihan lahir dan batin, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah  sunnah  setelah  ibadah-ibadah
fardlu (wajib). Mereka tekun mengerjakan shalat wajib, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Raadhan dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci bagi orang yang mampu.
Ahli Sunnah wal Jama’ah juga senantiasa bergegas dan berlomba-lomba mengerjakan amal shalih, banyak berdzikir, shalat sunnah, bersedekah dan ibadah-ibadah lainnya.
69.  Setiap Saat Selalu Mencari Ridha Allah Dengan Mengerjakan Amal Yang Relavan
Menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah,  ibadah yang paling utama pada waktu jihad adalah berjihad. Meskipun hal itu membuat mereka meninggalkan dzikir dan wirid. Sedangkan pada saat kebutuhan akan amar ma’ruf dan nahi munkar mendesak, maka ibadah yang paling utama adalah melaksanakan kewajiban itu. Dan pada saat kedatangan tamu, maka ibadah yang paling utama adalah memuliakan dan melayani tamu. Dan seterusnya…
Berbeda dengan orang-orang yang tidak bisa keluar dari ibadah tertentu akrab dengannya. Sedangkan Ahli Sunnah wal Jama’ah akan selalu berpindah-pindah di antara tingkatan- tingkatan ibadah, level-levelnya dan maqom- maqomnya.
70.  Mendapatkan hakikat-hakikat ilmu dan amal dalam waktu yang sangat singkat sekalian kali lebih banyak disbanding dengan apa yang didapatkan oleh golongan lain dalam beberapa abad dan beberapa generasi.
Ini adalah sesuatu yang nyata dan konkrit. Karena iman yang benar dan mantap akan menguatkan intelegensia, mempertajam bakat, meningkatkan ilmu dan iman, mendatangkan keberkahan di dalam amal, meskipun sedikit dan keberkahan di dalam waktu, meskipun pendek.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu.” (QS. Al-Baqarah:282).
“Dan kepada orang-orang yang  mau menerima petunjuk, Allah akan menambah petunjuk mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad:17).
“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang  diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian  itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan. Dan kalau demikian adanya,  pasti Kami berikan kepada mereka pahala  yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisaa’:66-68).
71.  Mendapatkan Kabar Gembira Ketika Meninggal Dunia.
Hal itu diperoleh Ahli Sunnah wal Jama’ah karena keimanan mereka kepada Allah dan istiqomah mereka dalam melaksanakan perintah-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqomah, maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih”. Dan berilah mereka kabar gembira dengan Surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu". (QS. Fushshilat:30).
72.  Getaran Hati Dan Air Mata
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang hatinya hidup, matanya selalu berderai karena takut kepada Allah, mudah tersentuh dengan Al-Qur’an dan luluh hati saat mendengarkan nasihat. Hal itu karena di  dalam hati mereka ada perasaan takut dan hormat kepada Allah.
Berbeda dengan kalangan lain yang tebal rasa dan keras hati. Dan berbeda dengan orang- orang yang suka pura-pura menangis, seperti kaum Rafidlah (Syi’ah) yang membiasakan anak-anaknya untuk menangis saat berkabung. Sehingga ketika mereka dewasa, mereka sudah terbiasa menangis kapan saja mereka mau. Jadi, tangisan mereka adalah sesuatu yang optional (pilihan) dan kesedihan mereka adalah kesedihan yang dibuat-buat.

73.  Wajah Yang Putih dan Berseri-Seri di Dunia dan Akhirat
Wajah yang putih dan berseri-seri selalu dimiliki oleh Ahli Sunnah dan Ahli ibadah. Sedangkan wajah yang hitam dan muram selalu dimiliki oleh Ahli bid’ah dan Ahli maksiat. Dan tepat sekali bila Imam Syafi’I menyatakan:
Karakter seorang pemuda memiliki sebuah tanda
Yang berkibar-kibar di atas keningnya.
Jadi wajah yang putih dan berseri-seri itu dimiliki oleh Ahli Sunnah di dunia dan Akhirat. Selama di dunia, wajah mereka putih, bersinar dan semakin berseri-seri karena adanya aqidah yang baik, hati yang suci dan amal yang shalih. Sebab, hal itu memiliki pengaruh yang kuat di dalam diri manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Setiap kali kebajikan dan ketaqwaan meningkat, maka menguatlah keelokan dan keindahan. Dan setiap kali dosa dan pelanggaran meningkat, maka menguatkan keburukan dan kejelekan.
Dan kita menemukan wajah Ahli bid’ah  dan Ahli maksiat semakin tua semakin parah keburukan dan kejelekannya. Bahkan ada orang yang tidak kuasa memandangnya, padahal di masa mudanya ia silau oleh keelokan rupanya.
Hal itu terlihat jelas oleh siapa saja pada diri orang yang bid’ah dan kesesatannya sangat parah, seperti kaum Rafidlah (Syi’ah), orang zhalim dan biadab, baik dari bangsa Turki maupun lainnya. Seorang penganut Rafidlah (Syi’ah) semakin tua umurnya semakin buruk wajahnya dan semakin parah kejelekannya. Bahkan bisa disamakan dengan babi, dan boleh jadi berubah wujud menjadi babi, sebagaimana banyak dikabarkan dari mereka.
Sedangkan di Akhirat wajah Ahli Sunnah wal Jama’ah tampak putih berseri ketika mereka menghadap kepada Tuhan. Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari yang di mana ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram.” (QS. Ali Imran:106).
74.  Kebaikannya dilipat Gandakan dan Derajatnya dinaikan
Salah satu faktor yang menyebabkan dilipatgandakannya kebaikan dan dinaikkannya derajat –bahkan merupakan landasan dan dasarnya- adalah aqidah yang benar dan iman yang kuat.
Sementara Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling benar aqidahnya dan paling kuat imannya. Oleh karena itu amal perbuatan mereka dilipatgandakan sebanyak- banyaknya dan derajat mereka dinaikkan setinggi-tingginya sehingga tidak tertandingi oleh siapapun. Kecuali oleh orang yang memiliki aqidah dan iman yang sama dengan mereka.
Oleh karena itu kaum Salaf mengatakan: “Ahli Sunnah wal Jama’ah apabila dibuat duduk oleh pekerjaan mereka, maka keyakinan mereka akan membangkitkan mereka. Sedangkan Ahli bid’ah apabila pekerjaan mereka  banyak, maka keyakinan mereka akan membuat mereka duduk.
Pelajaran yang bisa diambil dari situ ialah bahwa Ahli Sunnah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan Ahli bid’ah adalah orang-orang yang tersesat. Dan bisa diketahui dengan jelas perebedaan antara orang yang berjalan di atas jalan yang lurus dengan orang yang menyimpang dari jalan tersebut menuju ke jalur Neraka jahim.
Itulah kelebihan Ahli Sunnah wal Jama’ah dan itulah karakteristik mereka yang membedakan mereka dengan golongan-golongan lainnya.  Itu semua adalah perilaku-perilaku yang diterapkan oleh generasi Salaf kita  yang shalih, sehingga mereka mendapatkan banyak kebaikan dan memperoleh banyak keberkahan.
Namun hal itu tidak berarti bahwa Ahli Sunnah wal Jama’ah terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Yang ma’shum adalah manhaj dan Jama’ah mereka.
Sedangkan personel-personel mereka bisa jadi melakukan kezhaliman, penyimpangan, pelanggaran dan berbuat maksiat, namun terbilang kecil dibandingkan dengan golongan- golongan yang lain, dan orang yang melakukan hal itupun tidak dibiarkan begitu saja, sebagaimana dijelaskan di muka.
Barang siapa yang melakukan suatu pelanggaran hukum, maka ia menjauh dari petunjuk Ahli Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan kadar pelanggaran tersebut dan kehilangan kebaikan sesuai dengan kejauhannya dari Sunnah.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Keistimewaan Alhi Sunnah Wal Jama’ah
                 1.      Berusaha mencari kesempurnaan tetapi tidak menuntut sesuatu yang mustahil.
                 2.      Tidak berteman dan tidak bermusuhan kecuali atas dasar agama.
                 3.      Satu sama lain saling mencinta dan saling menyayangi.
                 4.      Satu sama lain tidak saling mengkafirkan.
                 5.      Secara umum bersih dari noda-noda bid’ah, syirik dan dosa besar.
                6.      Hati    dan    lidah    mereka    bersih   dari penghinaan terhadap sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
                 7.      Bebas dari kebingungan, kepanikan, keserampangan dan paradoks.
                 8.      Menjadi  tempat  kembalinya  orang-orang sesat dan Ahli bid’ah.
                 9.      Menolak takwil yang tercela.
            10. Keyakinan yang mantap bahwa tidak ada seorangpun yang boleh keluar dari syariat       Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
                11.   Berhati-hati terhadap informasi dan tidak gegabah dalam memberikan vonis.
                12.   Selalu berusaha membersihkan jiwa.
                13.   Setiap saat selalu mencari ridha Allah dengan mengerjakan amal yang relevan.
             14. Mendapatkan hakikat-hakikat ilmu dan amal dalam waktu yang singkat sekian kali lipat lebih banyak dibanding dengan apa yang didapatkan oleh golongan lain dalam beberapa abad dan beberapa generasi.
             15.      Mendapatkan berita gembira ketika meninggal dunia.
             16.      Getaran hati dan air mata.
             17.      Wajah yang putih dan berseri-seri di dunia dan Akhirat.
             18.      Kebaikannya dilipatgandakan dan derajatnya dinaikkan.

B.     Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.
Daftar Pustaka

http://dear.to/abusalma ; Maktabah Abu Salma al-Atsari
Syaikh Muhammad Ibrahim Al-Hamd : Alhi Sunnah Wal Jama’ah



 

Artikel Terkait

Previous
Next Post »