BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika fiqh diartikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariah
yang ditetapkan secara khusus untuk perbuatan-perbuatan para mukallaf,
dan hukum-hukumnya terdiri dari wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, batal dan shahih,
maka pengertian ushul fiqh ialah ungkapan untuk dalil-dalil dari hukum-hukum
tersebut, serta tata cara untuk mengetahui aspek-aspek penerapan dalil terhadap
hukum-hukum tersebut secara global. Lebih singkatnya ushul fiqh dimaksudkan
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum yang bersumber dari beberapa
dalil. Maka, pembahasan ushul fiqh adalah seputar hukum, dalil-dalil dan
pembagiannya, teori pengambilan hukum dari dalil dan kode etik seorang
pengambil hukum.
Rukun hukum ada empat, yaitu: hakim; mahkum alayh; mahkum fih, dan
hukum itu sendiri. Dari sini, hakim adalah salah satu rukun hukum dari
rangkaian rukun-rukun hukum. Persoalan tentang hakim adalah penting, sebab
berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam. Dari Hakimlah wahyu yang
merupakan sumber syariat diturunkan, untuk memberi beban tugas keagamaan (taklif)
kepada makhluk dengan maksud memberikan manfaat dan anugerah kepada mereka,
sebagaimana Dia telah memberikan nikmat yang tidak terhingga kepada mereka.
Sementara itu, ketika kita melihat produk hukum yang telah
diciptakan oleh para mujtahid, syarat wajib, atau pun syarat sah dari sebuah
perbuatan baik yang bersifat ubudiyah, mu’amalah ataupun munakahah, sama sekali
tidak melepaskan point aqil (berakal) bagi para pelakunya. Di lain masalah,
problematika penentuan sah atau batal, wajib atau haram dan baik atau buruk
bagi sebuah perbuatan, terkadang menggunakan ukuran akal, seperti keharaman
mengkonsumsi benda-benda yang membahayakan badan atau nyawa, seperti
mengkonsumsi racun. Allah pun membenarkan hal ini. Dia telah mencela
orang-orang kafir, karena mereka tidak mau menggunakan petunjuk (dalil) akal
akan keesaanNya, berdasarkan apa yang mereka saksikan dalam diri mereka dan
orang lain. Dalam masalah ini Allah berfirman:
وَقَالُوا
لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya:
“Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala”. (QS. Al-Mulk: 10).
Al-Imam Al-Mawardi bahkan mempertegas, bahwa Allah menjadikan akal
sebagai pondasi agama, pilar dunia, sebagai sarana mengawasi dunia dan
mempersatukan berbagai macam makhluk, di tengah ketidaksamaan kehendak dan
cita-cita mereka. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa akal adalah sarana untuk
mengetahui hakikat kebenaran dan untuk membedakan yang baik dan buruk.
Dengan problematika seperti di atas, makalah ushul fiqh kali ini,
kami beri judul Memposisikan Akal Sebagai Hakim
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan seputar keberadaan akal sebagai penentu hukum (al-Hakim) adalah
sebagai berikut:
1. Siapakah al-Hakim yang
sebenarnya
2. Apakah akal dapat
diposisikan sebagai Hakim
3. Dimanakah posisi akal yang
sebenarnya di hadapan Syariah
C. Tujuan
Setelah diketahui latar belakang dan rumusan masalah, seperti yang
telah dijelaskan di atas, maka penulisan
makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui siapa sebenarnya al-Hakim
2.
Mengetahui benar atau tidaknya menposisikan Akal
sebagai Hakim
3.
Mengetahui posisi dalil akal yang sebernarnya
dalam menentukan sebuah hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim
Hakim menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu: Pertama, pembuat
hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua, yang menemukan,
memperkenalkan dan menyingkapkan hukum. Menurut istilah yang dimaksud hakim
adalah Allah yang mensyariatkan dan pemberi beban makhluk dengan hukum-hukum.
Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa hakim yang sesungguhnya ialah Allah.
Dialah yang maha perkasa di atas hambaNya dan tidak akan terjadi sesuatu
kecuali sesuai kehendakNya. Dialah yang memberi perintah dan memberi larangan
kepada hambanya. Dan yang wajib bagi hamba adalah mentaatinya, hingga diperoleh
pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang berbuat maksiat.
Hakim adalah rukun kedua dari rukun-rukun hukum. Hakim adalah Dzat
Yang berfirman dan hukum adalah firmanNya. Maka, tidak ada syarat lain untuk
memunculkan bentuk hukum kecuali adanya point ini. Hak legalitas hukum juga
hanya diberikan kepada Allah. Maka hukum-hukumNya saja yang dianggap legal,
dengan kata lain tiada hukum dan tiada perintah kecuali hanya dari Allah SWT.
Adapun Rasulullah SAW, para penguasa, para majikan (sayyid), orang tua atau suami
yang dalam permasalahan tertentu perintah dan larangan mereka juga menjadi
hukum, sebenarnya bukan karena mereka adalah pembuat hukum, melainkan karena
adanya perintah Allah untuk melakukan taat kepada mereka. Jika perintah Allah
ini tidak ada maka tidak ada kewajiban makhluk untuk taat kepada makhluk yang
lain, karena serajat satu makhluk tidak lebih utama dari pada makhluk yang
lain. Jadi, yang wajib adalah mentaati Allah dan mentaati orang yang
perintahkan oleh Allah untuk mentaatinya.
Jika dikatakan bahwa setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk
mengancam orang lain dengan siksa dan dapat diwujudkan dalam kenyataan, maka
orang tersebut bisa disebut sebagai pembuat perintah yang wajib ditaati. Dari
pernyataan ini, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hak legalitas hukum bukan
semata milik Allah. Hal ini memang benar. Karena ketika membahas hakikat wajib,
ia tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan adanya kaitan dengan dampak buruk
yang menakutkan yang ada di baliknya, dan manusia juga mempunyai peran dalam
hal ini. Bisa saja manusia yang berkuasa disebut sebagai yang menentukan hukum
wajib. Namun bukan berarti wajib, karena adanya ancaman yang pasti akan
terjadi, sebab dalam perkembangan selanjutnya, bisa saja kekuasaan untuk
mengancam orang lain dengan siksa itu sama sekali tidak terwujud. Sedangkan
ancaman Allah, akan benar-benar terwujud sampai kapanpun sesuai dengan
kehendakNya.
B. Memposisikan Akal
Sebagai Hakim
Dalil-dalil hukum ada empat, yaitu: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
dalil akal. Ketika diteliti dengan sebenarnya, maka dalil hukum hanya satu
yaitu firman Allah SWT, karena sabda Rasulullah SAW, bukan merupakan hukum dan
tidak menetapkannya. Ia berstatus sebagai pemberi kabar firman-firman Allah.
Ijma’ (Konsensus) ulama juga tidak bisa disebut sebagai dalil hukum dalam arti
yang sebenarnya, sebab ia menunjukkan sabda Rasul. Akal juga demikian. Ia hanya
berstatus penafian hukum ketika firman Allah dan sabda rasul tidak ditemukan.
Ketika melihat hukum-hukum yang ditetapkan kepada manusia, sebenarnya
hukum-hukum tersebut tidak akan dapat diketahui, kecuali dengan sabda
Rasulullah, karena kita tidak bisa mendengar firman Allah secara langsung atau
melalui perkataan malaikat Jibril. Jadi, jika yang menjadi acuan adalah proses
tersiarnya hukum, maka dalil hukum hanyalah sabda Rasul SAW.
Tidak ada hakim kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Oleh sebab itu,
kalangan Asy’ariyah mengatakan bahwa hukum atas perbuatan para mukallaf sebelum
diangkatnya Rasulullah SAW (masa fatrah), atau tidak sampainya da’wah kepada
mereka, tidak ada hubungannya dengan Allh SWT. Maka saat itu kekufuran tidak
haram dan iman tidak diwajibkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كُنَّا
مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (الإسراء: 15)
Artinya: “Kami
tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
(QS. Al-Isra’: 15)
Ada riwayat shahih yang menunjukan adanya siksa bagi para manusia
yang hidup dalam masa fatrah. Namun demikian riwayat ini tidak bertentangan
dengan tidak adanya siksa bagi orang-orang yang hidup pada masa fatrah. Atau
riwayat ini bisa diartikan bahwa adanya manusia yang mendapat dosa pada masa
fatrah disebabkan sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah dan RasulNya. Bisa
pula dijawab bahwa yang disiksa seperti tersebut dalam riwayat, hanya
orang-orang merubah atau mengganti dengan hal-hal yang tidak ditolelir, seperti
menyembah berhala dan mengganti syariat.
Jawaban ini sebenarnya tidak cocok dengan pernyataan bahwa tidak
ada kewajiban kecuali berdasar syariah, hingga Imam al-Haramin berpendapat
bahwa jika yang dimaksud dengan yang disiksa Allah saat masa fatrah itu adalah
orang yang bertemu dengan sisa-sisa syariah yang ditetapkan oleh nabi
sebelumnya, maka tidak akan ditemukan kemusykilan. Selanjutnya, Al-Haramain
menambahkan bahwa yang dimaksud masa fatrah ialah orang-orang yang hidup
diantara dua Rasul dan rasul pertama tidak diutus untuk mereka, dan mereka
tidak menjumpai nabi sesudahnya. Dari uraian ini dapat dimengerti bahwa
perselisihan ini terjadi ketika dikaitkan dengan hukum iman. Untuk
masalah-masalah furu’iyah, para ulama tidak ada khilaf tentang tidak adanya
siksa, kecuali bagi mereka yang menerima dakwah para Rasul.
Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa akal adalah yang memutuskan
wajib dan haram. Singkat kata ia adalah al-Hakim secara independen. Apa yang
dianggap baik oleh akan adalah wajib, seperti mengenal Allah sebagai Tuhan, dan
mengenal diri sebagai hamba, kewajiban bersyukur kepada Allah, dan penyelamatan
terhadap korban banjir dan kebakaran. Apa yang dianggap akal jelek adalah haram
secara pasti, seperti kufur nikmat, perbuatan sia-sia dan perbuatan aniaya.
Mereka memposisikan akal diposisikan diatas posisi dalil-dalil syar’i, hingga
mereka tidak memperkenankan menetapkan hukum dengan dalil syar’i, selama akal
tidak mengetahuinya.
Menurut kalangan Mu’tazilah, sebuah pekerjaan jika mengandung
kemaslahatan murni dan berskala yang besar akan dianggap oleh akal bahwa Allah
mewajibkannya. Jika mengandung kerusakan murni dan berskala besar, maka akal
akan mengatakan bahwa Allah melarangnya. Jika maslahah dan mafsadah dalam
posisi seimbang atau sama sekali tidak mengandung keduanya, maka ia adalah
mubah dan tidak bisa disebut dengan hukum, sebab ia telah ada sebelum syariat
di datangkan. Akal akan mampu memahami bahwa Allah dengan kebijaksanaanNya yang
tinggi secara pasti tidak akan meninggalkan maslahah sesaatpun kecuali Dia
mewajibkannya dan memberinya pahala. Akal juga tidak akan meninggalkan
kerusakan kecuali Dia mengharamkannya dan memberinya siksa.
Menurut Mu’tazilah kedudukan syariah yang sebenarnya hanya sebagai
tanda dan ia mengalami perubahan dan penggantian. Sementara akal dengan
sendirinya telah mewajibkan atau mengharamkan tanpa ada perubahan dan
penggantian. Yang dimaksud mewajibkan menurut mereka ialah adanya bentuk
pengunggulan terhadap iman –misalnya--, mengakui ketuhanan, dan mempercayai
wujudnya Allah untuk selama-lamanya. Jika akal mengharamkan, maka ia terjadi
saat akal menetapkan pengunggulan untuk tidak melakukan kemusyrikan, dan tidak
melakukan pengakuan Tuhan untuk selain Allah.
Akibat aqidah yang batal ini, kalangan Mu’tazilah mengingkari
kemampuan mata manusia untuk melihat Allah. Mereka mengatakan bahwa melihat
Allah yang bersifat wujud tidak mungkin dilakukan menurut akal, sebab Allah
bebas dari arah dan posisi. Dan tidak mungkin dilakukan melihat sesuatu tanpa
arah dan jarak yang tertentu.
Masih menurut kelompok yang didirikan oleh Abu Ali Al-Jubba’i ini,
jika dalam satu keadaaan akal manusia mendorong melakukan isdidlal, maka alasan
yang mewajibkan akan menjadi nyata. Dengan ini mereka berkata bahwa orang yang
berakal, baik kecil atau besar tidak ada udzur berhenti mencari kebenaran dan
meninggalkan iman kepada Allah. Maka anak kecil yang berakal harus
beriman. Begitu pula orang yang ada dipedalaman yang tidak sampai kepada mereka
dakwah Islam, mereka adalah ahli neraka.
Titik perbedaan pandangan antara Kalangan Mu’tazilah dan
Asy’ariyah hanya terletak pada pemberian status pada sesuatu yang baik
(al-Husn) dan yang buruk (al-Qubh), Menurut jumhur, sesuatu yang baik (al-Husn)
dan yang buruk (al-Qubh), jika dimaknai kesenangan dan kebencian hati seperti
kebaikan manis dan kejelekan pahit atau sifat kesempurnaan dan kekurangan,
seperti kebaikan ilmu dan kejelekan bodoh, maka ia bersifat aqli, dalam arti
yang menentukan baik buruk adalah akal. Jika dimaknai munculnya pujian dan
hinaan di dunia atau pahala dan siksa di akhirat, maka ia bersifat syar’i,
artinya ia tidak dihukumi kecuali oleh syariah yang bawa Rasulullah SAW.
Menurut Kaum Mu’tazilah ini pun juga bersifat aqli, artinya akan
yang menghukumi baik dan buruk, karena dalam sebuah pekerjaan terdapat maslahah
dan mafsadah yang diikuti baik dan buruk menurut Allah, dalam arti akal
memahaminya secara dhoruri, seperti kebaikan sifat jujur yang bermanfaat dan
kejelekan sifat bohong yang berbahaya.
Golongan lain berpendapat sebaliknya. Syariah datang sebagai
penguat, atau sebagai pembantu untuk menentukan baik dan buruk yang tidak mampu
dipahami sepurna oleh akal, seperti kebaikan puasa.
Ahlussunnah Wal Jamaah (Asya’irah) dan Mu’tazilah sependapat bahwa
akal akan mampu menemukan kebaikan dan kejelekannya sesuatu sebelum datangnya
syariah. Dalam masalah pahala dan siksa mereka berbeda pendapat. Mu’tazlilah
mengatakan bahwa pahala dan siksa menetapkan sesuatu. Maka akal menghukumi
tentang adanya pahala dan siksa sebelum datangnya syariah, disebabkan adanya
kebaikan dan keburkan sebelumnya. Jika syariah datang, maka ia menjadi
penguat bagi hukum akal. Sedangkan ulama sunni mengatakan bahwa pahala dan
siksa tidak dapat diketahui kecuali dari arah syariah.
Ada tiga madzhab dalam masalah ini. Yaitu: Pertama: Baik dan buruk
sesuatu, dan pahala dan siksa adalah syar’i. Ini adalah pendapat Asy’ariyah,
Kedua: kedua-duanya adalah aqliyah. Ini pendapat Kaum Mu’tazilah. Ketiga:
kebaikan dan keburukan suatu ditetapkan berdasar akal dan pahala dan siksa
tergantung syariah, tidak ada pahala dan siksa kecuali ketika akal sudah
terbit. Inilah sesuai dengan apa yang disampaikan As’ad bin az-Zanjani, dari
kalangan Syafi’iyyah, Abu Khathab dari kalangan Hanabilah, juga kalangan
Hanafiyah dan meriwayatkannya sebagai nash dari Imam Abu Hanifah.
C. Akal Sebagai Penemu
Hukum
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai pencipta hukum (al-Hakim)
menurut Jumhur ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika akal merupakan bagian dari
dalil-dalil syariah maka posisi akal adalah sebagai penemu (al-Mudrik) hukum,
bukan sebagai pencetus hukum (al-Hakim). Jadi, yang benar adalah dikatakan
“Hukum syara’ ditemukan oleh akal”, tidak boleh dikatakan, “ilmu Syara’
diwajibkan akal”.
Yang menjadi sandaran dalam membatalkan kebaikan dan keburukan
adalah tidak adanya kewajiban menjaga maslahah dan mafsadah. Sebagai contoh
adalah penciptaan alam, apakah untuk maslahah atau tidak? Jika untuk maslahah,
maka Allah SWT telah melakukan pekerjaan maslahah sepanjang masa dan tiada
batasnya. Jika tidak untuk maslahah, maka pekerjaan Allah tidak wajib
ditetapkan untuk maslahah, dalam arti menjaga maslahah dunia bagi Allah bukan
sesuatu yang wajib. Jika sudah demikian maka tidak wajib berdasarkan akal, Allah
akan mengikat hukum-hukumNya di alam ini, tetapi hal ini adalah hal yang jaiz.
Dari sini maka kaidah tahsin (pembaikan) dan taqbih (pemburukan) menjadi batal,
sebab kewajiban mengikat hukum-hukum dengan maslahah dan mafsadah secara akal
adalah kebaikan dan keburukan itu sendiri yang bersifat aqli. Dari dasar (ashl)
ini, para sahabat membuat cabang dengan dua masalah:
Masalah pertama: Kewajiban bersyukur kepada Dzat yang memberi
kenikmatan. Syukur adalah memuji kepada Allah dengan mengingat-ingat kenikmatan
dan kebaikan Allah. Syukur adalah sesuatu yang baik secara pasti berdasarkan
pengetahuan akal. Adapun hukum wajib bersyukur adalah berdasarkan syara’ bukan
berdasar akal. Menurut ulama lain, syukur wajib secara akal, tetapi wajib dari
segi dalil, bukan dari segi pengetahuan akal yang pasti. Segolongan ulama dari
ashab Syafi’i, sepakat tentang hal ini seperti Abul Abbas bin Al-Qash, Abu
Bakar As-Syasyi, Abu Abdillah Az-Zubairi, Abul Hasan bin Qathan dan Abu Bakar
As-Shairafi.
Az-Zubairi mengatakan bahwa ibadah dilihat dari aspek dalil sam’i
(al-Quran dan Hadits) tidak didatangkan kecuali pada tiga aspek:
1. Ibadah yang didatangkan
dengan pewajiban yang sama dengan apa yang diwajibkan berdasarkan akal, seperti
Iman kepada Allah dan mensyukuri nikmatNya.
2. Datang dengan
pengharaman yang sama dengan apa yang diharamkan berdasarkan akal, seperti
kufur kepada Allah
3. Ibadah datang karena
akal memperbolehkannya, seperti shalat, zakat dam haji.
Ibnul Qash mengatakan bahwa sesuatu berdasar tinjuan akal ada tiga
macam. Yaitu: sesuatu yang diwajibkan akal, sesuatu yang dinafikan akal, dan
sesuatu yang diperbolehkan oleh syariah.
Masalah kedua: Hukum sesuatu sebelum datangnya Syariah. Para ulama
menetapkan masalah ini secara mutlak dalam setiap masalah ushul dan furu’.
Namun demikian didalamnya ada hukum yang dipahami berdasar pengetahuan dharuri
akal, dan ada yang dipahami berdasar pertimbangan akal. Ada pula yang dipahami
tanpa keduanya. Menurut kalangan syafi’iyah, kewajiban dan keharaman dalam
sesuatu tidak dapat diketahui berdasarkana akal. Ia tidak akan diketahui
hukumnya kecuali dengan syariah sesudah Rasulullah diangkat menjadi Rasul.
Apa yang telah dipaparkan diatas adalah i’tiqad ahlussunnah
waljamaah dan berdasar kesepakatam imam madzahib al-Arba’ah dan murid-murid mereka.
Seorang ulama Hanabilah mengatakan bahwa hukum pekerjaan sebelum datangnya
syariah ada dua pendapat, yaitu boleh dan haram, berdasar perkataan Imam
Ahmaad.
Untuk hukum benda-benda yang dapat dimanfaatkan sebelum datangya
syariah ada beberapa pendapat.
1. Boleh. Ini adalah
pendapat kaum Mu’tazilah Bashra seperti yang dikatakan Al-Ustadz Abu Mansur.
Abu Zaid Al-Dabusi mengatakan bahwa ini adalah pendapat ulama Hanabilah
2. Haram. Ini pendapat kaum
Mu’tazilah Bagdad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas ulama Ahlussunnah Waljmaah mengatakan hal ini. Sedangkan
pendapat kalangan Mu’tazilah tentang posisi akal yang seakan mengalahkan firman
Allah, adalah pendapat yang tidak sesuai dengan nash-nash al-Quran dan Hadits,
bahkan walaupun mereka lebih mengandalkan perhitungan akal dalam setiap
langkah, tetapi ketika pendapat mereka dipertanggung jawabkan secara akal,
justeru pendapat mereka menjadi lemah dan mudah untuk dipatahkan. Walaupun
demikian keberadaan kaum mu’tazilah menjadi sebuah kemajuan intelektual bagi
ahlussunnah waljamaah, yaitu sebagai tonggak munculnya ilmu kalam, untuk
mempertahankan aqidah dari serangan pemikiran yang lebih mengutamakan akal.
Meskipun akal bukan sebagai pemutus hukum, bukan berarti syariah
membatasi ruang gerak akal. Sesuai dengan prinsip hukum yang lebih
mengedepankan posisi akal bagi pribadi para mukallaf, kebanyakan produk
hukumnya mensyaratkan fungsi akal bagi objeknya. Dalam masalah istimbat hukum,
akal menjadi salah satu sumber hukum. Sesuai dengan uraian dalam makalah ini,
sumber hukum akal seakan menjadi alternatif kedua saat ketidak adaan dalil yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Fungsi akal dalam menentukan hukum adalah sebagai penemu dan
pemaham atas suatu masalah yang akan dicarikan hukumnya, bukan sebagai penentu
hukum. Maka apa yang dianggap baik oleh akal dan diamini oleh syariah, maka
baik juga menurut syariah. Syariah datang sama sekali tidak bertentangan dengan
akal.
B. Saran
Demikianlah makalah ini saya buat,
saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari teman-teman. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad, “Al-Mushtashfa”, pada
Software Gamee Fiqh ver.1.0, Kairo: Harf, 1988
Al-Mawardi, Ali bin Muhammad bin Habib, Adab
al-dunya waddin, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0, Kairo: Harf, 1988
Az-Zarkasyi, Badruddin bin Muhammad
Bahadur, Al-Bahrul Muhith, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Wizarah awqaf Wa Syu’un al-Islamiyah
al-Kuwaitiyah, Mawsu’ah al-Fiqhiyah, pada Software Maktabah
Syamilah Ver. 3.48,
Ibnu Amir Hajj, Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad, al-Taqdir wa al Tahbir, pada software Gamee’ Fiqh
ver.1.0,
Al-Bukhari Al-Hanafi, Abdul Aziz bin Ahmad Bin
Muhammad, Kasyf al-Asrar, pada software gamee fiqh ver.1.0
Kairo: Harf, 1988
Al-‘Athar, Hasan bin Muhammad bin Mahmud, Hasyiah
al-‘Athar ala al-Jalal, pada Sofware gamee fiqh ver.1.0 Kairo:
Harf, 1988
3 comments
Write commentsizin copas min buat referensi..
Replysukses selalu....
iya siap..
ReplyBang izin copas bang
ReplyEmoticonEmoticon